Pala yang Melanglang Buana

Kisah Banda dan Pala sejatinya sudah berlangsung jauh sebelum terjadinya pertukaran antara Pulau Run dengan Nieuw Amsterdam.

Pada abad ke-6 Masehi, pala telah menyebar ke India, lalu ke barat ke Konstantinopel. Jalur awal ini disinyalir ada karena kekuasaan kerajaan besar Sriwijaya, Mataram Hindu, Singasari, dan Majapahit yang menjadikan perdagangan rempah sebagai jalur interaksi utama. Kemudian seiring waktu, pada abad ke-13, para pedagang Arab telah mengetahui bahwa asal pala adalah dari Banda namun mereka merahasiakan lokasi Banda dari para pedagang Eropa*.

Sebagai komoditi yang dicari dan hanya ada di Banda, wajar jika harga pala setara dengan emas, apalagi dengan kondisi transportasi yang masih menggunakan kapal yang berlayarnya tergantung pada angin pasat (trade wind), angin persisten yang berhembus ke arah barat dan menuju Khatulistiwa dari subtropical high pressure belt menuju zona equatorial.

source: gkchronicle.com

Perdagangan yang damai tidak berlangsung selamanya, babak baru dimulai pada abad ke-16 ketika Portugis tiba di Kepulauan Banda dengan tujuan memonopoli perdagangan pala.

Tujuan tersebut mendapatkan perlawanan dari rakyat Banda yang diprakarsai oleh para orang kaya Banda. Cara orang Banda melawan Portugis adalah dengan melarang Portugis membangun benteng dan pos dagang serta menghentikan upaya misionaris Portugis untuk menyebarkan agama Katolik. Hal ini, menurut sejarawan Britania, John Villiers membuat bangsa asing tidak dapat menegakkan monopoli perdagangan rempah-rempah di Kepulauan Banda.

Sejarah Kelam Banda

Saat Belanda sampai di Banda untuk pertama kalinya pada akhir abad ke-16, rakyat dan orang kaya Banda sempat menyambut baik Belanda karena dianggap membantu Banda dalam menghentikan usaha Portugis memonopoli rempah-rempah Banda hingga kemudian dibuatlah kesepakatan dagang antara orang Banda dan pihak Belanda. Namun dikemudian hari orang Banda menyadari bahwa kesepakatan tersebut hanya menguntungkan pihak Belanda.

Orang Banda merasa diikat kebebasan perdagangannya akibat kesepakatan dengan Belanda sehingga orang Banda kembali berdagang dengan pedagang dari negara lain seperti sebelumnya, bertransaksi kepada pihak yang memberi keuntungan yang lebih baik.

Tindakan tersebut membuat Belanda menganggap orang Banda melanggar kesepakatan sehingga terjadi perundingan kembali. Perundingan yang berlangsung sengit tersebut diperburuk oleh sikap Belanda yang bersikukuh membangun benteng meskipun telah ditolak oleh orang Banda hingga akhirnya orang Banda membunuh 46 orang Belanda termasuk Laksamana Pieter Willemszoon Verhoeff yang memimpin pembangunan benteng tersebut.

Jan Pieterszoon Coen yang saat itu menjabat sebagai juru tulis berhasil melarikan diri, namun peristiwa pembunuhan 46 orang senegaranya tersebut membuat J.P Coen berniat membalas dendam sekaligus berambisi untuk menaklukan Banda demi komoditas pala.

Pada 1621, JP Coen yang telah diangkat sebagai Gubernur Jendral VOC mendapat lampu hijau dari Heeren XVII (Heeren Zeventien), tujuh belas direktur VOC yang berasal dari kongsi-kongsi dagang Belanda yang kemudian bersatu membentuk VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie).

Berbekal ijin dari Heeren XVII, JP Coen kembali ke Banda dan menduduki Masjid Adat Nagari Salamon, sebuah masjid yang merupakan bangunan penanda masuknya Islam pertama kali ke Banda. Oleh Belanda, masjid ini diubah fungsinya menjadi tempat aktifitas Belanda tanpa memperdulikan keberatan yang dinyatakan orang Banda.

Melanjutkan ambisinya, JP Coen yang berkeyakinan bahwa untuk menundukkan Banda harus terlebih dulu menundukkan pemimpinnya dengan cara apapun berujung pada kerusuhan dan pembantaian massal pada tahun 1621 terhadap 44 Orang Kaya Banda dan 6.000 penduduk Banda.

Pembantaian 44 Orang Kaya Banda yang terjadi pada tanggal 8 Mei 1621 ini disebut-sebut sangat mengerikan. tubuh 44 Orang Kaya Banda dimutilasi menjadi empat bagian kemudian bagian kepalanya ditusukkan pada ujung bambu dan dipertontonkan kepada khalayak.

Letnan Laut Nicolas van Waert menyaksikan pembantaian dengan penuh kecemasan dan ketakutan. Hampir semua orang kaya tersebut tidak mengeluarkan sepatah kata sebelum dieksekusi, hanya satu diantara mereka yang mengatakan: “Apakah tuan-tuan tidak merasa berdosa?”

Entah, apakah dosa sempat terlintas dalam benak Jan Pieterszoon Coen atau tidak saat memerintahkan eksekusi tersebut, yang jelas JP Coen kemudian mencatat peristiwa pembantaian dalam Coen Op Banda (Coen di Banda). Pada catatan tersebut dikemukakan jumlah yang terbunuh, yaitu 6.000 orang Banda, pengasingan 789 Orang Banda ke Batavia (ditempatkan di sebuah wilayah yang saat ini dikenal dengan Kampung Bandan), 1.700 orang Banda melarikan diri ke Banda Eli, Banda Elat Kepulauan Kei, Seram dan tempat-tempat lain di sekitar Banda, dan 5 Orang Kaya Banda berhasil lolos bersama 300 orang lainnya dengan bertolak dari Pantai Dender dijemput 20 kora-kora dari Seram Timur.

Disebutkan bahwa rakyat Banda yang tinggal di Banda saat itu hanya tinggal 480 orang (dari jumlah sebelumnya 14.000 orang) hingga disebut ‘rakyat asli Banda telah habis’.

Pada tahun-tahun tersebut angin sepertinya berpihak kepada Belanda, tahun 1667 Belanda memenangkan perang Anglo Dutch II, perang yang berlangsung pada 4 Maret 1665 – 31 Juli 1667 di Laut Utara dan Selat Inggris.

Berakhirnya perang ini mengantarkan pada Perjanjian Breda (Treaty of Breda) sebuah perjanjian antara Inggris dan Belanda yang ditandatangani di kota Breda, Belanda, pada tanggal 31 Juli 1667.

Salah satu pasal pada perjanjian tersebut tertera pertukaran wilayah antara Nieuw Amsterdam yang dimiliki Belanda dengan Pulau Run yang dimiliki oleh Inggris. Pada awalnya Inggris menawarkan wilayah Suriname (yang merupakan penghasil gula) untuk ditukar dengan Nieuw Amsterdam tetapi Belanda bersikukuh mendapatkan Pulau Run karena komoditas pala yang dimilikinya.

Saat ini Nieuw Amsterdam telah berganti nama menjadi Manhattan, sedangkan Pulau Run yang merupakan salah satu pulau terkecil di Indonesia (hanya sekitar 600 hektar) telah menjadi bagian dari Kepulauan Banda.

Untuk mengukuhkan kekuasaannya di Banda, Belanda membuat 12 benteng; 3 benteng di Banda Neira, 6 benteng di Banda Besar, 2 benteng di Pulau Gunung Api dan 1 benteng di Pulau Ai. Belanda juga membawa orang-orang dari wilayah lain untuk bekerja di Banda sebagai budak membudidayakan pala dan fuli (salut biji pala yang sering disebut bunga pala).

Asal Foto: cairofood.id (kiri), ternate.karantina.pertanian.go.id (kanan)

Akhir Monopoli Pala

Monopoli pala berakhir saat terjadi Perang Napoleon dimana Belanda terlibat di dalamnya.

Meskipun Belanda tetap menguasai Kepulauan Rempah-rempah ini hingga Perang Dunia II, selama Perang Napoleon, Inggris mengambil alih sementara Kepulauan Banda dari Belanda, Pengambilalihan sementara tersebut dimanfaatkan oleh Inggris dengan membawa bibit-bibit pohon pala lengkap dengan tanahnya ke Sri Lanka, Penang, dan Singapura sebelum kemudian disebarkan ke daerah-daerah jajahannya yang lain, khususnya ke Zanzibar dan Grenada. Begitu berharganya pala hingga bendera nasional Grenada yang digunakan pada tahun 1967 hingga 1974 menunjukkan buah pala ditengahnya.

Meskipun pala tidak lagi hanya terdapat di Indonesia, saat ini kebutuhan komoditi pala dunia masih didominasi oleh Indonesia sebanyak 60%. Kini, selain di Banda pala juga dibudidayakan di Papua Barat, Maluku Utara, Maluku, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Provinsi Aceh juga Bogor.

Menjelajahi Banda di Masa Kini

Saat ini, banyak orang mungkin menganggap pala hanya sebagai penyedap masakan. Namun, jika dilihat dalam bahasa Inggris dari rempah yaitu spice, kata spice berasal dari bahasa Latin, yang artinya barang yang memiliki nilai spesial jika dibandingkan dengan barang dagangan biasa.

Makna spice tersebut seiring dengan fakta bahwa pala sudah dibawa berkeliling dunia dengan kapal sejauh 15.000 kilometer, sebuah ukuran jarak yang tidak main-main bahkan untuk ukuran masa kini.

Sejarah panjang rempah yang langgeng hingga berpuluh abad membuat keberadaannya sangat tidak mungkin dipandang sebelah mata. Banyak catatan sejarah yang ditorehkan para penjelajah antara lain Al-Ramhurmuzi yang menulis dalam Aja’ib al-Hindi (tahun 342 H/953 M) mengenai pelayarannya ke pelabuhan/ibukota Sriwijaya untuk membeli rempah-rempah hingga akhirnya sampai ke Maluku** dan Tome Pires dalam bukunya Summa Oriental que trata do Mar Roxo ate aos Chins (Ikhtisar Wilayah Timur: dari Laut Merah hingga negeri China) yang mengisahkan pengalamannya selama berada di Nusantara pada awal abad ke-16:

“Para Pedagang Melayu berkata bahwa Tuhan telah menciptakan Timor untuk kayu cendana, Banda untuk pala, dan Maluku untuk cengkih. Barang dagangan ini tidak dapat ditemukan di tempat lain di dunia kecuali di ketiga tempat ini. Saya telah bertanya kepada banyak orang dengan sangat cermat dan sabar, mengenai apakah ketiga komoditas tersebut dapat ditemukan di tempat lain, dan semua orang menjawab tidak.”

Tome Pires – Summa Oriental que trata do Mar Roxo ate aos Chins

Catatan-catatan sejarah tersebut tidak hanya menjadi bukti namun juga menjadi suatu gerakan mengarungi ulang jalur rempah di abad ke-21 ini. Lebih jauh, Indonesia bersama negara-negara lain yang wilayahnya termasuk dalam Jalur Rempah telah mengusulkan Jalur Rempah (Spice Routes) sebagai warisan dunia kepada UNESCO pada 2019.

Jalur rempah ini membentang dari pantai barat Jepang, melalui pulau-pulau di Indonesia, mengelilingi India hingga ke daratan Timur Tengah – dan dari sana, menyeberangi Laut Tengah ke Eropa. Jaraknya lebih dari 15.000 kilometer.
Sumber: researchgate

Tujuan gerakan mengarungi jalur rempah ini lebih dari sekadar napak tilas sejarah, namun juga demi mengeksplorasi kejayaan jalur rempah terutama sebagai jalur perdagangan, persahabatan, pertukaran kebudayaan dan pengetahuan; pengetahuan agama, bahasa, keahlian, keterampilan artistik dan ilmiah. Pelabuhan-pelabuhan di sepanjang Jalur Rempah (yang kemudian disebut juga Jalur Sutera Maritim) berperan sebagai tempat berkumpulnya ide dan informasi dengan setiap kapal yang berlayar dengan muatan barang-barang berharga di dalamnya, pengetahuan baru pun dibawa melintasi lautan ke pelabuhan singgah berikutnya.

Baca juga: GNMC, Peringatan Rute Navigasi Magellan

Merayakan Pala dalam Makanan

Penggunaan yang beragam dari buah yang keluar dari tumbuhan pala (Myristica fragrans) tidak terbatas pada satu hal saja, selain disuling untuk digunakan minyak asitrinya, dibakar untuk digunakan sebagai dupa, biji pala dan fuli juga digunakan sebagai bumbu masak, sementara daging buahnya sering dijadikan manisan untuk oleh-oleh.

Biji pala dan fuli memiliki rasanya serupa tapi tidak sama, Biji pala memiliki rasa yang lebih manis, hangat, sedikit pedas dan aroma yang kuat. Sementara bunga pala lebih lembut rasanya namun lebih pedas jika dibandingkan biji pala, rasa pedas fuli sering digambarkan seperti gabungan rasa kayu manis dan merica.

Dalam masakan Indonesia, pala digunakan dalam masakan berkuah seperti konro, sup buntut, sup iga, bakso, dan sup kambing. Pala juga digunakan dalam kuah untuk masakan daging, seperti semur daging sapi dan iga dengan tomat. Pala juga menjadi bahan untuk oleh-oleh, seperti selai pala, sirup pala, dodol dan manisan.

baca juga: Rekomendasi Oleh-oleh Maluku yang Tidak Boleh Kamu Lewatkan

Dalam masakan India, pala disebut jaiphal. Tidak hanya digunakan untuk memasak makanan utama, pala juga digunakan dalam pembuatan makanan penutup dan camilan seperti kalakand. Di India, pala juga diasapi, tentunya pengasapan membuat rasa pala menjadi lebih unik.

Dalam masakan tradisional Eropa, pala adalah rempah penting terutama untuk menghangatkan badan saat musim dingin tiba. Pala atau nutmeg digunakan dalam sup, makanan yang dipanggang bahkan untuk dessert. Eggnog, haggis, tortellini adalah beberapa diantara menu Eropa yang menggunakan pala. (*)

Baca juga: Menikmati Banda Neira: Dari Pala hingga Biota Lautnya

===

* Pickersgill, Barbara (2005). Prance, Ghillean; Nesbitt, Mark (eds.). The Cultural History of Plants. Routledge. p. 166. ISBN 0415927463.

** dikutip dari www.sultanateinstitute.com dan uinjkt.ac.id

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.