
Sedikit-sedikit duduk, minum, jalan perlahan, keseleo, emosi karena sulit mendaki, itulah gambaran singkat pendakian saya kali ini. FYI, saya paling lamban diantara semuanya.
Jadwal dimulai di tengah malam, dengan menumpang bis selama 5 jam dari terminal Kampung Rambutan ke Garut ditemani lagu campursari yang disetel oleh pak supir.
Kami turun di masjid dekat tugu Kota Garut untuk menunaikan Shalat Subuh. Masjid itu memang adalah tempat para pendaki dari Jakarta biasanya turun. Ada yang mau mendaki ke Guntur, adapula yang mau mendaki ke Papandayan.
Nggak cuma menunaikan shalat, biasanya pendaki akan sarapan dan ngopi disini serta bertukar informasi. Ngobrol-ngobrol, katanya minggu lalu tempat ini ramai sekali dengan pendaki karena long weekend. Wah, bagaimana dengan kali ini ya? Semoga nggak seperti sarden nanti di puncak Guntur.
Kemudian kami menaiki minivan menuju rumah pemandu kami dan menuju ke pos pendakian utama pada jam 10.30 pagi.

Sepanjang jalan menuju pos utama, kami disuguhi pemandangan yang keren banget. Sebagian sawah yang menghampar masih hijau, dan sebagian lagi sedang dipanen oleh para petani. Penduduk disini juga ramah, sesekali kami diiringi anak-anak dengan wajah ingin tahu, mereka berjalan cepat berusaha mengikuti kecepatan langkah kami sambil makan es krim.
Sesampainya di pos utama, kami mendaftarkan nama kami. Ini adalah hal wajib yang tidak boleh diabaikan, karena pencantuman nama adalah bentuk tanggung jawab kami terhadap keselamatan diri sendiri dan tanggung jawab penjaga pos terhadap keselamatan kami juga.
Gunung Guntur adalah gunung yang tandus, tidak ada mata air sepanjang jalan dan diatas puncak sana, maka itu tas kami berat oleh air, satu orang membawa setidaknya lima liter air.
Mendaki gunung aktif setinggi 7.379 kaki ini adalah tantangan bagi saya yang termasuk jarang mendaki. Tantangan pertama itu jalan menuju pos satu yang sebetulnya hanya 30-45 menit tapi rasanya seperti selamanyaaaa… mendaki sabana dengan kemiringan 45 derajat dan licin di beberapa bagiannya. Saya keseleo beberapa kali disini.
Jalan menuju pos dua lebih nyaman tapi kabut turun sangat tebal siang itu hingga kami sulit untuk melihat satu sama lain, peluit dan senter senjata ampuh kami di sepanjang jalan ini. Sebentar-sebentar kami tiup peluit, menandai bahwa jarak kami terkendali, tidak terlalu jauh satu sama lain. Saat kabut terlalu tebal hingga kami tidak dapat melihat, kami memilih berhenti daripada mengambil resiko terpeleset atau tersandung. Begitu kabut hilang, kami percepat jalan kami untuk mengejar waktu.
Jalan menuju pos tiga adalah jalan yang eksotik, bunga-bunga yang menyembul diantara pohon-pohon mati disepanjang jalan karena sisa-sisa terbakar, Ya di area ini memang sering terjadi kebakaran karena panas matahari yang sangat menyengat.
Jalan itu adalah jalan berpasir, bunga-bunga pink itu sepertinya adalah penghibur sebelum menempuh tanjakan yang sulit. Di situ kami masih senyam senyum memandangi bunga-bunga pink yang menyembul kontras diantara pasir hitam dan kayu terbakar, namun semakin jauh medan semakin berat.
Kami harus menanjak di kontur tanah berpasir. Disinilah saya emosiiiiihhhh…. karena ngga berhasil naik padahal sudah melangkah! naik sedikit langsung merosot lagi karena pasir yang tidak padat itu. Manyun itu hanya awal, sedetik kemudian teriak juga “Aaaarrgh!”.
Sedikit memutar otak, kemudian saya melempar tas ransel saya yang berat itu ke atas. Logika saya, saya terus merosot seperti itu karena beban tas yang saya panggul jadi tas harus naik dulu. Cara itu berhasil! Saya berhasil naik sedikit demi sedikit, lebih cepat dari sebelumnya.
Titik pos tiga berada di lembah yang terletak diantara 2 bukit, anginnya sangat kencang. Kami sempat berpapasan dengan dua pendaki lain disini. Mereka merasa kelelahan dan mau berkemah disana. Kami tidak menyarankan karena siang begini saja lembah itu begitu dingin dan berangin kencang, bagaimana kalau malam, resiko hipotermia.
Tapi entah mereka mengikuti saran kami atau tidak karena saat kami melangkah ke Puncak Guntur, mereka masih duduk-duduk di pos tiga.
Pendakian ke puncak guntur juga tidak kalah seru, kali ini medannya berbatu kapur dengan kemiringan 45 derajat, ada beberapa bagian tanah yang terasa panas.

Persis ketika sampai di puncak tiba-tiba hujan turun sangat deras beserta petir bersahut-sahutan. Waaaah, kami ngebut turun ke sisi gunung satunya. Jangan sampai kami tersambar petir. Bukan hanya berlari menuruni puncak guntur, sesekali kami meluncur tanpa peduli apakah pakaian kami rusak karena bergesekan dengan tanah berbatu atau tidak. Di benak kami hanya cepat-cepat sampai di bawah agar tidak tersambar petir.
Sesampainya di tanah dengan permukaan yang rata, kami memasang tenda dengan cepat, 4 tenda dalam hitungan menit! Masuk tenda, ganti pakaian kering dan membuat minuman hangat.
Diatas sini hanya kami yang berkemah, mungkin imbas karena minggu lalu sudah penuh akibat long weekend ya, jadi minggu ini sepi. Puncak Guntur jadi hanya milik kami kali ini.

Hujan menggagalkan imajinasi kami untuk mengamati bintang-bintang di malam hari karena hujan terus saja turun sampai nyaris subuh namun pagi ini kami disambut oleh matahari yang terbit diantara kabut-kabut.
Sunrise di atas sini memang terkenal sebagai salah satu sunrise terindah di Garut.

Setelah sarapan, kami mulai turun menuju pos utama. Yah, lagi-lagi saya paling buntut… persis kura-kura karena membawa ransel yang besar…
Tantangan ketika turun berbeda dengan tantangan ketika naik. Ibarat mobil, saat naik banyak nge-gas, nah saat turun banyak nge-rem. Keseimbangan justru banyak ditantang saat turun dibanding saat naik.
Dengan menggendong ransel yang ‘lumayan’ berat, tantangan keseimbangan pun menjadi dua kali lipat. Saya beberapa kali tergelincir dan merosot seperti turun perosotan di taman bermain anak-anak, bedanya medan perosotannya berbatu-batu… hehehe…
Teman-teman saya tidak henti-hentinya menyemangati, setiap saya sampai di pos peristirahatan, mereka pasti tepuk tangan. Padahal bisa jadi (banget) saya memperlambat langkah mereka.
Begitu terus sampai pos gerbang yang merupakan pos utama tempat kami memulai pendakian kemarin, teman-teman saya serempak tepuk tangan menyambut si kura-kura ini, dan bertanya “everything’s good?” dan si kura-kura ini menjawab sambil tertawa “always”.
Bagi pendaki, lelah, kaki cekot-cekot, dan tertidur pulas di bis saat perjalanan menuju pulang adalah suatu efek samping yang dengan senang hati dijalankan.

======