Setelah semua berakhir, turis akan jalan-jalan lagi. Balas dendam setelah berbulan-bulan di rumah. Istilahnya revenge tourism atau revenge traveling, begitu katanya.
Nah sembari ‘menyepi’ di rumah menunggu COVID-19 selesai mewabah, ada baiknya mulai browsing tujuan wisata balas dendam dari sekarang. Menurut prediksi slow traveling adalah jenis plesir yang paling banyak dipilih, mengapa? Karena banyak orang sudah jenuh terlalu lama di rumah dan tidak bisa traveling sehingga setelah wabah corona nanti berencana untuk berwisata santai, durasi lebih lama di satu tempat atau durasi lama namun berpindah-pindah tempat dengan jadwal yang longgar.
Kalau dengan jadwal yang longgar, kira-kira dimana sih daerah yang punya banyak tempat wisata yang dapat dinikmati ala slow traveler? Garut aja.
Garut terkenal sebagai tempat beristirahat atau tetirah sejak jaman kolonial, tidak heran karena tempat wisata di Garut cukup banyak. Akses menuju Garut pun mudah, dari dari Bandung hanya sekitar 2 jam saja dan jika dari Jakarta, Garut dapat dituju dengan melalui tol Cipularang.
Wisata alam adalah wisata yang paling banyak yang dapat dinikmati di Garut, karena banyak bisa juga kamu memilih destinasi wisata berdasarkan jalurnya.
Akses destinasi wisata di Garut tidak semua dapat dijangkau dengan bis, jadi memang lebih enak mengendarai kendaraan pribadi.
Berhubung kali ini kita membahas slow traveling — anggap saja dari Jakarta atau Bandung — enaknya rutenya kira-kira bagaimana?
Hari Pertama
Jika kamu memutuskan berangkat dari Jakarta atau Bandung sebelum ke Kota Garut ada baiknya mampir dulu ke Candi dan Situ Cangkuang.
Lokasi candi ditempuh sekitar 1 jam 18 menit dari Bandung atau sekitar 54.9 KM dari Bandung melalui Tol Purbaleunyi.

Candi Cangkuang dengan ukuran 4.7m x 4.7m dengan tinggi 3m ini merupakan peninggalan peradaban Hindu abad-7 yang didalamnya terdapat patung Siwa.
Reruntuhan candi ini ditemukan berserakan tahun 1966 oleh Tim Sejarah Leles berdasarkan tulisan Vorderman dalam buku Bataviaasch Genootshap (1893). Karena kondisi reruntuhannya, pemugaran candi yang dilakukan pada 1976 itu sebagian besar tidak menggunakan batuan aslinya.

Sekitar 4 meter dari candi terdapat makam tua yang dipercaya sebagai kuburan Mbah Eyang Dalem Arief Muhammad seorang tokoh dakwah Islam yang berasal dari Kerajaan Mataram Islam sekitar Abad 17. Para keturunan dari Mbah Eyang Dalem Arief Muhammad ini masih tinggal di sekitar Candi Cangkuang, membuat perkampungan yang dinamakan Kampung Pulo dan tetap mempertahankan tradisi turun temurun dari keturunan tersebut seperti larangan memelihara binatang berkaki empat dan larangan memukul gong besar.
Persis di depan Makam Eyang Dalem Arief Muhammad terdapat museum sederhana yang menyimpan koleksi berupa naskah-naskah kuno berbahasa Arab tentang ajaran Agama Islam yang ditulis tangan di atas kulit kayu dan kulit kambing, foto-foto saat pemugaran candi serta lukisan besar ilustrasi Mbah Eyang Dalem Arief Muhammad.
Setelah dari lokasi candi, jangan lewatkan Situ Cangkuang, atau yang dulu disebut Lake Leles. Danau ini begitu menarik hati hingga Charlie Chaplin, saudaranya Sydney Chaplin serta Paulette Goddard dua kali mengunjunginya pada tahun 1930-an dan menyebutnya Switzerlan van Java.
Baca juga Pendaki Lamban di Medan Pendakian Gunung Guntur

Lapar setelah keliling Candi dan Situ Cangkuang, perut pasti minta diisi. Nah, di dekat sini cukup banyak rumah makan, kalau mau makan masakan khas Sunda, bisa melipir ke Rumah Makan Sari Cobek atau Rumah Makan Minang di dekatnya, atau kalau memutuskan untuk mencari tempat makan maknyus sambil menuju ke Kota Garut, bisa melipir ke Sate Maranggi Pa’ Nur yang terletak di Jl. Pantura Semarang Tarogong Selatan, Garut.
Setelah makan dan menuju ke Garut, selanjutnya adalah memilih hotel di garut. Umumnya, slow traveler akan memilih penginapan yang ramah di kantong agar destinasi wisata dan kuliner lainnya bisa dijangkau dengan kocek yang terbatas. Tapi, penginapan ramah di kantong bukan berarti minim kualitas.
Saat ini banyak hotel murah di garut dengan harga mulai dari harga Rp. 150.000-an/malam.
Selesai check in dan beristirahat sejenak di hotel, saatnya hunting kuliner untuk makan malam. Kalau masih belum bosan dengan penganan daging, bisa kulineran di Domba House Lasminingrat. Restoran yang menyajikan sate, gulai, tongseng dan nasi goreng daging domba sampai jam 10 malam.
Jika siangnya sudah makan daging dan memilih makanan lain untuk makan malam dan bingung mau makan apa, mampir saja ke Pasar Ceplak Garut yang berjarak 14 menit saja dari Alun-alun Kota Garut. Pasar malam yang buka sore hingga pukul 10 malam ini selalu ramai karena menyajikan beragam makanan seperti ayam goreng, papaisan (pepes) ikan dan ayam, dan jajanan seperti martabak manis, gurandil, klepon, jalabria (gemblong), dan cucur.
Hari Kedua
Setelah melepas lelah dengan beristirahat di hotel, hari kedua di Garut bangunlah lebih pagi untuk berangkat ke Kawah Talaga Bodas. Kawah ini mirip dengan Kawah Putih yang ada di Ciwidey, Bandung. Namanya memang masih kalah populer dari Kawah Putih sehingga Kawah Talaga Bodas ini masih sepi pengunjung namun pemandangan sih tidak kalah keren. Datang pagi-pagi kesini, nikmati Kawah Telaga Bodas yang masih berkabut dan jangan lupa abadikan dengan kamera, ambil foto instagramable disini tanpa kuatir ‘bocor’ karena banyaknya orang yang lalu lalang.

Talaga bodas berasal dari bahasa sunda yang memiliki arti telaga/danau putih. Telaga ini dikelilingi gunung, tidak hanya menyajikan sebuah panorama pemandangan alam yang menakjubkan tapi juga udara sejuk khas pegunungan.

Kawah Talaga Bodas juga merupakan kawasan pengamatan elang sejak beberapa waktu lalu. Wisata pengamatan burung akan memiliki daya tarik yang berbeda dengan tempat wisata alam lainnya. Siapa tahu saat kesana kita bisa beruntung ikut mengamati elang yang bermigrasi.
Setelah menghabiskan pagi di Talaga Bodas ada dua tempat yang bisa menjadi pilihan, Karacak Valley atau Dayeuhmanggung, dua-duanya sekitar 1 jam dari Talaga Bodas dan dua-duanya keren.

Karacak Valley menyajikan suasana alam pegunungan dengan hutan pinus dan udara yang sejuk, kalau mau berlama-lama bisa sewa hammock dan sunset-an disini.
Atau bisa juga ke Dayeuhmanggung, kawasan perkebunan teh yang masih apik sejak 1913, yang juga merupakan pintu masuk pendakian ke Gunung Cikuray.
Oiya, Dayeuhmanggung ini sudah dikembangkan oleh pemerintah lho, bahkan digadang-gadang menjadi salah satu tujuan wisata utama di Garut. Foto ala Instagram juga cakep banget disini.

Hari Ketiga
Anggaplah misalnya hari ketiga adalah hari terakhir slow traveling kali ini, jangan langsung balik kanan lewat tol dan pulang ke Bandung atau ke Jakarta.
Main yang agak jauh sampil mengarah pulang pastinya akan seru banget. Tapi sebelum kesini, pastikan istirahat dengan baik di hotel sehingga fit saat road trip menuju pulang.
Setelah sarapan, pertama kali berangkat cari pom bensin dulu karena yang kali ini akan lebih jauh dari hari sebelumnya.
Inilah rutenya:
Kota Garut > Curug Orok > Leuwi Korsi > Pantai Puncak Guha > Pantai Rancabuaya

Curug Orok terletak diantara hamparan perbukitan kebun teh dan kopi, dan menuju ke curug yang berada di bawah lembah sekitar 100 meter harus menuruni ratusan anak tangga tanah tanpa bahan semen. Tapi jangan mikirin ratusan anak tangganya, pikirin saja keindahan yang akan ditemua di curug ini.
Setelah dari Curug Orok kemudian kita beranjak ke Leuwi Korsi, hmmm… sebetulnya ada 2 lokasi wisata diantara Curug Orok dan Leuwi Korsi, tapi dibanding menghabiskan waktu menyambangi satu persatu, lebih baik memilih yang paling sreg di hati dan stay lebih lama khan?

Itu mengapa rutenya langsung ke Leuwi Korsi, secuil surga di Kecamatan Bungbulang.
Akses kesini memang melelahkan, namun santai saja karena jalan terburu-buru membuat kita tidak bisa menikmati pemandangan indah sepanjang jalur menuju Leuwi Korsi.
Pemandangan Leuwi Korsi unik, dengan batuan-batuan yang berbentuk seperti kursi-kursi yang berjajar hingga akhirnya disebut sebagai Leuwi Korsi. Leuwi sendiri artinya lubuk atau lembah.
Tebing batu yang berjajar rapi itu pun kemudian diduga sebagai salah satu situs megalitikum yang ada di Indonesia. Tidak heran sih, soalnya bebatuannya rapi banget mirip seperti situs megalitikum di Gunung Padang.
Aliran di Leuwi Korsi tidak deras sehingga pengunjung banyak yang kemudian berenang atau duduk-duduk dipinggir sambal menikmati cahaya matahari. Lelah bukan lagi masalah.
Setelah melepas penat dengan bersantai di Leuwi Korsi, kita harus mengisi perut dengan makan siang. Di Leuwi Korsi tidak ada penjual makanan jadi harus kembali ke jalan utama untuk menemukan rumah makan terdekat. Jangan khawatir, banyak rumah makan disepanjang jalan.
Selesai makan siang, cus langsung ke Pantai di Garut Selatan. Tujuannya ke Pantai Puncak Guha.
Begitu sampai Pantai Puncak Guha, kamu tidak akan disambut oleh pantai pasir putih melainkan hamparan rumput hijau. Ya, sejatinya pantai ini adalah tebing yang berada diatas gua kelelawar yang berada menghadap langsung ke laut persis seperti tebing di Uluwatu, sama-sama memukau tapi bedanya disini masih sepi, masih belum digarap dengan baik, betul-betul seadanya. Tapi itu dia yang membuatnya terasa seperti milik sendiri, tidak ada pedagang makanan, atau souvenir.
Lepas sunset-an di Puncak Guha, saatnya makan malam. Rumah makan di dekat sini kira-kira berjarak 3km saja, yaitu di Pantai Rancabuaya. Cukup banyak tempat makan disini dengan aneka jenis seafood, pilih saja sesuai selera.
Rancabuaya belum sepopuler Pangandaran atau Pelabuhan Ratu namun soal keindahan tidak usah diragukan, bagi kamu yang mencari sebuah perjalanan yang masih asri dan belum banyak pengunjung, Rancabuaya dan Puncak Guha adalah salah duanya.
Puas tiga hari slow travel di Garut? Atau mau nambah? Boleeeeehhhh….
Baca juga: Ngeteng ke Gunung Padang