Alkisah, sabtu malam itu kami rebah berjamaah diatas tikar yang tergelar di pantai, sempat kami pesimis karena kumulonimbus ikut berjamaah dilangit sana..
Namun mungkin karena kami yang berisik, atau karena puisi yang terujar oleh Maul Bachri, perlahan mereka menjauh, langit pekat malam itu sempurna melatarbelakangi rangkaian gemintang. Orion di Timur, Pisces di Barat, Taurus di Utara.
Sebagai alumni astronomi, Iqbal Alaik mulai bercerita diselingi kepolosan Yani Elviany. Mulai dari Orion, bintang jatuh, Bima Sakti, bintang pertama di alam semesta, hingga Black Hole.
Paginya, obrolan masih berlanjut dengan Fufu Mbou, Bima Prasena dan (masih) dengan Iqbal… kali itu topiknya flat earth, Asgardia – Negara luar angkasa yang sedang mencari presiden–, Miun yang mimpi dinas luar angkasa padahal dia fobia luar angkasa, hingga bahas biaya perjalanan dinas luar angkasa.
Disela-sela obrolan dua sesi itu, saya teringat sebuah buku yang belum saya selesaikan:
“Terberkatilah mereka yang shidiq, terberkatilah mereka yang menempuh jalan kebenaran dan tidak ada padanya kejahatan – sebagaimana para pendosa yang segera binasa – dalam menjalani hari-hari kehidupannya, (yakni) selama matahari berkelana dilangit sejak terbit hingga terbenam melalui gerbang-gerbangnya selama tiga puluh hari, seiring dengan gugusan bintang-bintang (rasi) yang disisipkan diantara tahun-tahun (interkalasi), dan membagi satu tahun menjadi empat musim yang datang dan pergi dalam empat masa”
~Kitab Nabi Idris (The Book of Enoch) Pasal 82:4~
Satu pemikiran pada “Pantai Batu Karas”