Trip bareng arkeolog, umumnya pasti terbayang bakal nonton orang nyapu-nyapu fosil pakai kuas…. Di perjalanan kali ini, kuas hanya mitos, bayangan akan melihat arkeolog diam seribu bahasa terpaku pada fosil juga sekadar bayangan.
Apalagi kalau jalan bareng Pak Dwi Cahyono, arkeolog handal yang sedang melanjutkan S3 nya di Universitas Airlangga. Seharian ngobrolin peninggalan masa lalu ternyata mengasyikkan, bahkan untuk saya yang berpikir arkeolog yang asyik itu cuma Indiana Jones.
Hari minggu kemarin saya bersama teman-teman Sahabat Museum dan Pak Dwi Cahyono menapaki sejarah Tarumanegara dengan melihat situs-situs peninggalannya di Ciaruteun, Bogor.
Prasasti Kebun Kopi namanya
Kalau berpikir prasasti ini dinamakan demikian karena kopi, ada benarnya… Tahun 1863, Jonathan Rig, seorang tuan tanah perkebunan kopi di daerah ini (yang dahulu bernama Buitenzorg), menemukan adanya sebuah batu berukir tapak kaki gajah pada saat beliau membuka lahan untuk perluasan perkebunannya. Temuan ini kemudian dilaporkan kepada Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen sebuah badan yang menangani perihal sejarah, seni dan peninggalan purbakala pada masa itu dan merupakan cikal bakal dari Museum Nasional masa kini.
Prasasti yang juga disebut Prasasti Tapak Gajah ini termasuk jejak epigrafis tertua, hanya sedikit lebih tua dari prasasti peninggalan Kutai Kartanegara di Muara Kaman, Kalimantan.. Bahkan, merupakan jejak literasi tertua, yang diperkirakan berasal dari paruh kedua abad ke-5 masehi. Ciri utama prasasti yang dibuat pada masa itu adalah penggunaan batu alam yang tidak dihaluskan dan tulisan (inkripsi) pendek yang hanya menceritakan pokok maksudnya saja, seperti caption pada cuitan twitter. Dikit.
Prasasti dari batu vulkanis yang hingga sekarang masih ditempatkan di lokasi tempatnya ditemukan ini, berfungsi sebagai penanda bahwa daerah tersebut sudah diduduki oleh salah seorang penguasa. Hal ini terlihat dari inkripsi yang ditulis dengan aksara palawa, aksara yang dibawa dari India Selatan pada awal tarikh masehi dan dalam bahasa sanskrit berbentuk seloka* : “Jayavisalasya tarumendrasya hastinah – airvatabhasya vibrati dam padadvanyam” yang jika diartikan dengan bahasa masa kini artinya: “disini nampak sepasang kaki gajah yang seperti Airawata, gajah penguasa Taruma yang agung, dalam dan bijaksana”.
Airawata, dalam konsepsi Hinduisme, merujuk spesifik pada gajah putih. Memang pada masa kini gajah putih mengacu pada Thailand, namun meskipun umumnya warga Thailand masa kini menganut Budha, namun pada masa lalunya sebagian besar Asia Tenggara termasuk Thailand dan Nusantara adalah penganut agama Hindu Sekte Wisnu. Dalam Hindu, Gajah Putih (Airawata) adalah tunggangan dari Dewa Wisnu yang kemudian dalam prasasti ini diibaratkan sebagai tunggangan penguasa Taruma.
Umpak
Di sebelah Prasasti Kebon Kopi, terdapat sekumpulan umpak yang terlindungi oleh atap, umpak adalah batu yang digunakan sebagai landasan tiang pondasi bangunan.
Sekumpulan umpak yang terdapat disini ditemukan di rumah-rumah penduduk, yang akhirnya di pindahkan karena tergerus air jika hujan.
Pada umpak-umpak ini dapat tergambarkan seberapa besar tiang pondasi bangunan yang dulu pernah di sangga. Hal ini terlihat dari diameter cekungan yang biasanya adalah merupakan ukuran tiang pondasi. Jika umpak-umpak ini masih in-situ**, sebenarnya dapat direkonstruksi ulang untuk melihat besar dan luas bangunan yang ada dilokasi ini, 16 abad lampau.
Dolmen
Pada saat kami menuju ke Bis, Pak Dwi melihat umpak tersembunyi beserta dolmen di dekat tempat parkir. Kalau bukan karena saya bersama arkeolog handal, saya pasti mengira itu adalah batu kapur biasa.

Umpak ini hanya terlihat dua buah, namun seperti lazimnya pondasi bangunan, minimal seharusnya ada empat umpak, namun dua umpak lainnya belum diketahui keberadaannya.
Dolmen yang menutupi salah satu umpak, terlihat seperti dolmen pada umumnya yakni terdapat terdapat guratan-guratan di atasnya yang membentuk motif tempurung kura-kura. Hal ini masih dalam diskusi para ahli, apakah guratan tersebut mengacu pada lokasi pembagian lahan pertanian, ataukah merefleksikan kura-kura, kendaraan Dewa Wisnu selain gajah putih.
Dari sini seharusnya saya beserta teman-teman sahabat museum dan pak Dwi dapat mengunjungi Prasasti Kebun Kopi yang kedua, sayangnya prasasti yang kedua telah hilang dicuri pada tahun 1940-an.
Sehingga siang itu kami mengunjungi prasasti-prasasti lain yang lokasinya masih berdekatan dengan Prasasti Kebun Kopi, yakni Prasasti Ciaruteun, Prasasti Dakon dan Prasasti Muara.
(bersambung)
Baca juga: Menjadi Indiana Jones: Prasasti Ciaruteun
======
*seloka = puisi yang dapat dinyanyikan
** in-situ = berada di titik lokasi aslinya
๐๐๐
SukaSuka
bagus nih artikelnya, yg nulis capa ciiiiihhhhhโฆ
SukaSuka
๐๐๐
SukaSuka