Bangun pagi kali itu saya belum berpikir hendak pergi kemana, padahal itu adalah hari kedua solo traveling saya ke Kota Gudeg.
Agak mutung, rencana tandem paralayang gagal karena arah dan kecepatan angin sedang tidak mendukung.
Dengan bibir manyun 2 senti, saya ngeloyor ke Café terdekat, ngademin hati.. Mampirlah saya ke Indische Café yang terletak di bagian dalam Benteng Vredeburg.
Nyess.. Segelas Cappuccino dingin ternyata sanggup membuat saya sumringah dan bersemangat lagi untuk berkeliling.
Benteng Vredeburg ngga masuk daftar tempat yang ingin saya kunjungi, karena sudah beberapa kali kesini sebelumnya. Tapi tetap saja saya mengagumi bentuk gedung tua yang terawat ini, tak apalah berkeliling sekali lagi.
Saya berkeliling hingga ujung belakang, dan mata saya tertuju pada pintu belakang Benteng yang kali itu terbuka, keingintahuan saya tersulut, ingin tau apa yang ada di baliknya.
Diujung jalan belakang, saya melihat ruko tempat buku-buku bekas disebelah kanan saya, sementara disebelah kiri ada satu gedung yang pagarnya terbuka namun tidak tampak adanya kegiatan.
Dibagian depan gedung ada papan pengumuman penuh tempelan flyer kegiatan kesenian. Wah, berarti gedung ini ada kegiatannya dong, pikir saya.
Segera saya hampiri seorang abang becak yang sedang menghalau cuaca panas dengan topi anyaman lebarnya.
“Di gedung ini ada auditorium nya neng, sering ada sandiwara disini, tapi biasanya malam… Kalau siang begini, paling bisa ke museum-nya” ujar si abang.
“Neng masuk aja, kalau buat anak sekolah gratis, kalau untuk dewasa ada biayanya, tapi murah kok” lanjutnya.
Setelah berucap terima kasih, saya masuk kedalam gedung tersebut. Benar saja, ada museum didalamnya, namanya…
Museum Anak Kolong Tangga

Sesuai namanya, museum ini memang terletak dibawah tangga utama menuju auditorium.
Memasuki tempat itu, saya disambut dengan sepeda kayu tua buatan Magelang sekitar tahun 1992 yang langsung mengajak benak saya kembali mengingat rasa bahagia ketika akhirnya lancar menaiki sepeda roda dua, merasakan semilir angin yang menerpa wajah seiring dengan kayuhan lincah kedua kaki saya.

Perlahan saya menyusuri kapsul waktu itu, menekuri mainan yang di pajang disekeliling museum sembari membuka lembaran-lembaran bahagia masa kanak-kanak saya.
Cita-cita arsitek dulu itu…
Disatu sudut, saya melihat dengan generasi pertama dari lego bernama playtime. Mainan yang membuat saya sempat bercita-cita menjadi arsitek, membangun rumah dengan desain sendiri…
Disebelah lego, ada scribble, permainan vocabulary yang selalu membuat perasaan campur aduk bonus keringat dingin lantaran takut kalah karena vocabulary saya ancur-ancuran, tapi tetap penasaran, mengapa orang lain bisa namun saya tidak, kecil-kecil kompetitif orang bilang.

Disudut lain, saya melihat tuk-tuk, mainan kapal bersumbu yang bahan bakarnya minyak sayur. Dahulu, setiap hendak bermain ini, saya dan adik saya mencari ember milik ibu yang paling besar, diisi air sampai setengah penuh, kemudian menyulut sumbu kapal dan menaruhnya di air. Kapal kemudian akan bergerak mengelilingi ember dengan mengeluarkan bunyi tuk…tuk…tuk..tuk…

Kadangkala, kapal saya isi dengan dedaunan, seakan-akan sedang membawa bahan makanan. Perang khan juga butuh logistik, pikir saya saat itu.
Si biang kerok rebutan mainan
Ngga hanya itu, ada lagi mainan klasik masa lalu, robot mata belo yang juga sempat saya miliki.

Soal main, memang saya ngga melulu main permainan perempuan seperti boneka atau main masak-masakan, kalau sedang bersama adik saya, ya mainnya robot, meskipun pada akhirnya rebutan juga… Hehehe..
Robot ini emang biang kerok pertengkaran, dan selalu berhasil (*ngeles).
Kapsul waktu yang lain
Seperti tidak cukup hanya disebut pemicu ingatan bermain masa kanak-kanak, Museum yang diinisiasi oleh Rudi Corens ini juga mengingatkan saya akan masa kecil saya saat melihat salah satu koleksinya berupa sempoa kayu dan papan tulis kapur. Bahkan saya melihat peralatan kerja klasik ala ayah saya sekitar tahun 90an awal, mesin tik dan isi pena parker…

Belum lagi koleksi dari beberapa negara lain, seperti boneka panggung dari Rusia dan kuda kayu dari Ukraina yang juga masuk kategori klasik alias dari tahun ‘jebot’ yang membuat saya membayangkan kebahagiaan anak-anak dibelahan bumi lain dimasa itu.
Saya jadi terpikir, jika mainan-mainan saya hidup seperti dalam Film Toys Story, mungkin ada baiknya mereka diberikan kepada Museum, agar mereka kembali memiliki eksistensi, namun kali ini sebagai pencetus memori di kapsul waktu.
=======
Update: Museum Anak Kolong Tangga yang terletak di Jalan Sriwedari No 1 lantai 2, Gedung Taman Budaya Yogyakarta ini sudah ditutup beberapa bulan setelah artikel ini tayang. Saya belum tahu dimana lokasi barunya, apakah ada yang tahu?
last but not least, alamat email dari pemilik museum ini adalah: untuk_semua_anak@yahoo.com