[Repost perjalanan November 2014 silam]

Ajakan jalan-jalan kali itu tepat saat saya membutuhkan waktu refreshing, keluar dari kebisingan kota. Langsung packing dan berangkat menuju tempat tinggal Suku Kanekes.

Kanekes atau Baduy adalah suku yang kuat memegang tradisi dan masih mempraktekkan ajaran yang diturunkan oleh para leluhur mereka. Jika kamu tinggal di Jakarta, ke Baduy cukup mudah dijangkau sebetulnya.

Berlokasi di Gunung Kendeng, Kabupaten Lebak, kurang lebih 7 jam dari Jakarta; 2 jam perjalanan dengan kereta menuju Stasiun Rangkasbitung, ditambah 2 jam perjalanan dengan menyewa angkot ke Ciboleger, sisanya dengan berjalan kaki naik turun gunung.

Saya bersama enam teman saya berangkat dengan kereta dari Stasiun Tanah Abang jam 08:00 pagi dan dari Stasiun Rangkas Bitung nyambung naik angkot, sampai ke Ciboleger sekitar jam 14.30 siang hari. Naik angkotnya sendiri sudah cukup ‘menantang’ karena jalanannya yang rusak. Hitung-hitung persiapan mental sebelum naik gunung, masuk hutan sekitar 8 km menuju Baduy Dalam.

Sebelum menanjak, jangan lupa siapkan air mineral dan sepatu khusus untuk naik gunung. Jangan seperti saya yang memilih running shoes. Sepatu saya itu jebol tidak kuat menanggung beban yang tidak sesuai dengan fungsinya. Untung saja saya membawa sendal gunung. Meskipun harus tetap menggunakan kaus kaki karena rawan lecet.

Kami cukup beruntung karena cuaca saat itu kurang lebih 34⁰ Celcius, jalan setapak kering dan tidak licin. Tujuan perjalanan kami adalah Desa Cibeo, Salah satu suku paling asli diantara tiga suku asli lainnya (yakni, Cikertawana dan Cikeusik).

Untuk menuju kesana, kami harus melewati beberapa desa-desa Baduy Luar seperti Desa Gajebo.

Oiya, terdapat perbedaan antara Baduy Dalam dengan Baduy Luar. Baduy Luar adalah suku baduy yang sudah menerima perkembangan jaman seperti handphone, menaiki kendaraan bermesin, menonton TV bahkan mengusahakan listrik dengan menggunakan aki. Sementara Baduy Dalam adalah suku baduy yang sama sekali tidak menggunakan teknologi modern.

Pakaian mereka pun dibedakan, Baduy Luar menggunakan pakaian tradisional berwarna hitam, sementara Baduy Dalam menggunakan pakaian tradisional berwarna putih.

Namun baik Baduy Dalam dan Baduy Luar, mereka sama-sama memperhatikan lingkungannya. Saat di Desa Gajebo, saya melihat bahwa mereka sudah menerapkan pemilahan sampah. Wah, di Jakarta saja banyak yang belum melakukan ini ya.

Waste sorting

Sepanjang jalan, kami dipandu oleh Bapak Sumiatin dan anaknya, Sariman. Dari pakaian yang dikenakannya jelas terlihat kalau mereka berasal dari suku Baduy Dalam.

Suku Baduy Dalam juga tidak menggunakan alas kaki saat berjalan, mereka percaya bahwa mereka harus terkoneksi langsung dengan alam dengan bertelanjang kaki. Kebiasaan mereka bertelanjang kaki dan berjalan berkilo-kilo meter setiap hari membuat kaki mereka sangat kuat. Saya terperangah saat melihat Sariman berlari-lari dengan mudah saat menanjak gunung, sementara saya sudah lelah sekali.

Mereka juga sangat pandai memanjat pohon. Pak Sumiatin memanjat tiang bambu yang dilubangi hanya dengan “menyantolkan” jempol kakinya saja.

Mr Sumiatin climbed a bamboo stairs only by ‘hooked’ his toes into bamboo holes.

Area Baduy Dalam dan Baduy Luar hanya dibatasi oleh sebuah sungai. Sebelum kami menyeberang, kami diingatkan untuk mengikuti aturan di Baduy Dalam: tidak menggunakan teknologi apapun termasuk untuk berfoto, tidak menggunakan sabun dan shampoo, tidak merokok, dan tidak meminum minuman keras.

Kami menginap di rumah Pak Sumiatin. Sesampainya dirumah, kami disuguhi potongan gula aren dan segelas air putih. Demi menjunjung leluhur, gelas yang mereka gunakan pun dari alam, yaitu batok kelapa.

Saya bertanya kepada Bapak Sumiatin, bagaimana cara mereka membangun rumah. Bapak Sumiatin menjelaskan bahwa rumah suku mereka adalah rumah panggung yang terbuat dari bambu dan serat kelapa. Mereka hanya menggunakan kapak, dan kujang dan tidak menggunakan gergaji, paku dan palu (karena, lagi-lagi bagi mereka benda-benda itu adalah bagian dari teknologi modern yang merupakan hal tabu bagi mereka).

Kami menginap semalam dirumah Pak Sumiatin, malam yang tenang, hanya ditemani suara hujan.

Kami terbangun saat subuh, kabut masih sangat tebal. Kami menuju tempat pemandian yang terpisah, bagi perempuan ada bilik khusus pemandian sementara para pria mandi di sungai.

Karena kabut sangat tebal, kami para orang kota berjalan menuju tempat pemandian dengan lampu senter, untungnya hal ini diperbolehkan untuk kami gunakan. Sementara penduduk desa ini sudah terbiasa berjalan dalam suasana seperti ini sehingga tidak membutuhkannya, bahkan mereka bisa berlari dalam keadaan (yang bagi kami) gelap sekali.

Pagi hari itu, disela kantuk kami mendengar sayup-sayup suara angklung. Ya anggota suku Kanekes memang tabu untuk mengenyam pendidikan sekolah. Bagi mereka, belajar yang diperbolehkan hanya bertani, memanen madu hutan dan belajar memainkan angklung.

Untuk permainan angklung, mereka memiliki rumah panggung khusus. Setiap pagi, anak-anak beramai-ramai memainkan angklung. Angklung yang dimainkan ukurannya ada yang seperti angklung pada umumnya, namun ada juga angklung berukuran ekstra besar, tingginya kira-kira setinggi harpa konser. Dan Sariman memainkan angklung yang besar itu.

Setelah puas dengan permainan angklung yang indah (yang sayangnya hanya dapat kami rekam dalam ingatan), kami bersiap kembali menuju Ciboleger dengan melalui jalur yang berbeda dari yang kami lalui saat datang kemarin.

Root Bridge

Jalan kami kembali ke Ciboleger ini melewati jembatan akar, yaitu jembatan yang terbuat dari anyaman akar dua pohon besar di kedua sisi sungai. Jalur kali ini lebih curam daripada jalur kami naik kemarin. Dan karena malam turun hujan, jalurnya sangat licin. Saya beberapa kali memilih untuk meluncur seperti main perosotan di taman bermain, daripada berjalan. Baju kotor itu hal biasa saat traveling seperti ini.

Kami sampai Ciboleger jam 13:00 siang, menyempatkan diri beristirahat sebentar sambil memakan semangka, menunggu angkot carteran yang kemarin mengantar kami.

Jam 15:00 sore kami sampai di Stasiun Rangkas Bitung dan kembali menuju realita.

Bagi sebagian orang, traveling ke Kanekes itu untuk refreshing, atau ada yang ingin merasakan kehidupan ‘ala’ masa lampau. Namun sebetulnya kehidupan di Kanekes mengajarkan sebuah kesederhanaan, dan keterhubungan antara diri kita dengan alam yang tidak seharusnya diputus dengan ketidakpedulian terhadap kelestariannya.

Ada beberapa catatan perjalanan saya kali ini:

  • Saat di Baduy Dalam, ikuti semua aturannya. Salah satu penduduk bercerita bahwa sebelum saya datang ada wisatawan yang tetap menggunakan kameranya dan begitu keluar Baduy Dalam, semua gambar di kameranya rusak, alias hitam semua. Believe or not.
  • Sayangnya, Baduy Dalam hanya boleh didatangi oleh wisatawan Indonesia, sehingga jika ada wisatawan asing (meskipun sesama rumpun melayu) hanya diperkenankan menginap di Baduy Luar saja.
  • Baduy memiliki bulan suci, sekitar 4 bulan. Pada masa ini, tidak ada pengunjung yang boleh masuk ke area Baduy.
  • JANGAN NYAMPAH! Bawa sendiri plastik sampah kamu. Sangat malu melihat pengunjung yang membuang sampah sembarangan sementara anak Kanekes berusia 5 tahun sudah mengerti pemilahan sampah.
  • Buat ranselmu seringkas mungkin; tidak perlu membawa sabun, shampoo dan sejenisnya karena dilarang untuk digunakan. Dan tidak perlu membawa anti nyamuk, karena disana sama sekali tidak ada nyamuk.
  • Jangan lupa membawa air minum yang cukup, 600ml atau lebih. Jika melalui jalur jembatan akar, ada beberapa mata air yang akan ditemui, airnya jernih dan dapat langsung diminum… Jika melalui jalur pintu masuk Ciboleger (Patung selamat datang di Ciboleger), tidak ada mata air sepanjang jalan hingga tiba di Desa Cibeo.
  • Jika ingin membeli souvenir, lebih baik membeli ke Suku Baduy Dalam, lebih murah. Barang yang mereka tawarkan mulai dari gelang akar, tas akar, tenun hingga pakaian putih mereka. FYI, saya menyesal tidak membeli baju putih yang benar-benar dijahit dengan tangan itu.
  • Jangan lupa bersenang-senang!!

Peta: http://www.wikiloc.com/wikiloc/view.do?id=3339380

Catatan Peta: butuh beberapa waktu untuk mencara peta yang tepat, karena satu nama dipakai di beberapa titik (nama jalan, nama sungai, dll) tapi setelah dicek kembali, peta yang saya sajikan ini akurat.

———————