Jangan berpikir kalau pergi ke Pulau Leebong cuma bisa keliling Pulau Leebong, berenang atau main pasir di pantainya saja.. 

Kemarin, saya bersama teman-teman melipir ke Pulau Pasir Burung yang letaknya hanya sekitar 10-15 menit dengan menggunakan perahu kayu. 

Pulau yang hanya muncul saat air surut ini berpenduduk burung camar dan masyarakat dunia Neptunus, dan karena karakternya ini, Pulau Pasir Burung sering juga disebut Pulau Pasir Timbul. 

Kami tiba di dermaga Pulau Pasir Timbul sekitar jam 3 sore. Pulau ini memiliki beberapa gazebo, ayunan dan satu hammock anyaman. 

Hal unik yang saya perhatikan disana, karena pasirnya on off terendam air laut, banyak sarang kepiting kecil disana. Sehingga pasir terlihat penuh dengan lubang-lubang kecil.. 

Namun ngga perlu takut tercapit, mereka justru lari secepat kilat masuk kedalam lubang saat merasa ngga aman. 

Ada tiga kepiting kecil disini, kelihatan ngga?

Saya sangat menikmati rasa saat telapak kaki saya menyusuri pulau, pasir lembut yang bersih dari pecahan karang dan kulit kerang membuat saya ngga khawatir untuk bertelanjang kaki, sandal hanya pajangan saja saat itu.  

Saya berayun di hammock sembari memperhatikan keriaan Lala, satu-satunya penjelajah cilik yang ikut rombongan kami kali ini. “Yang laju, Bundaaaa.. ” pinta nya pada sang Bunda, ia pun berayun didorong sang Bunda hingga pandangannya tertuju pada teman-teman yang berenang dan mengayuh kano. 

📷 by @imasatrianto

Dengan energinya yang ngga habis-habis, Lala berlari untuk turut berenang dan menaiki kano dan berlagak seperti Moana yang bertualang menyeberangi lautan. 

Lala keren ya..

Persis seperti alur cerita Moana, ngga lama kemudian muncul Maui, tokoh gembul yang di filmnya sih setengah dewa… Tapi mungkin karena ngga keriting gondrong dan ngga tatoan, sehingga Maui ala Belitung ini gagal jadi setengah dewa.

Moana & Maui, minus ayam juling.. 

Bedanya, kalau Moana dan Maui mengarungi lautan berdua…nyatanya Lala disini bak juragan kecil yang lagi berjemur… 

Mungkin kalau dibiarkan lebih lama, Lala bakal duduk di paddle board dengan kopi hitam ditangan… #eh

Tour de Mangrove

Laut yang pasang seiring dengan tenggelamnya matahari memaksa kami pulang dari pulau cantik ini, jalan yang kami tempuh berbeda dari arah kami datang.. agak memutar melewati deretan pagar hutan bakau, menyusuri laut yang airnya berwarna toska.

Jika diperhatikan, karang terlihat cukup jelas dimata, meskipun cahaya matahari sudah hampir padam di barat dan tertutup awan. 

📷 @atanasia_rian

Pak Toto bilang, kalau siang akan lebih jelas karena air surut, dapat menyaksikan habitat bakau yang tumbuh di atas pasir dan menyaksikan keragaman karang yang tumbuh subur dibawah air dengan lebih jelas… Kalau saya sih, lihat dari permukaan saja, ngga akan nyemplung meskipun airnya jernih menggoda, karena hutan bakau adalah habitat ular belang, selain itu saya ngga mau menginjak karang.. Menginjak karang adalah hal yang tabu, mengingat menginjak karang akan membuat karang patah dan mati. Karang yang mati tidak dapat lagi dijadikan tempat bertelur para ikan betina dan tempat bermain ikan kecil… Hingga akhirnya menghentikan keberlangsungan spesies… Panjang ya… Padahal hanya karena hal yang dianggap sepele bagi sebagian besar traveler instan: menginjak karang.. 

Bonus yang kami saksikan hari ini, adalah bukti bahwa habitat dapat berkolaborasi indah dengan kemajuan zaman. 

Kesuburan mangrove dan karang, kejernihan air, dan kepiting-kepiting kecil adalah indikator habitat yang ngga tercemar. 

Suguhan yang indah hari ini sesungguhnya mengingatkan kembali bahwa jika bersama menjaga Pulau Pasir Burung dan Pulau Leebong seperti adanya hari ini, kelak cerita ini ngga akan tinggal cerita. 

Yuk, kapan kita kesana lagi..