Musti saya akui, bertahun-tahun lahir dan besar di Jakarta banyak hal yang belum saya ketahui tentang Jakarta, seperti pertunjukan wayang orang, atau yang sering disebut juga wayang wong.
Saya tahu di Senen itu ada lapak kue subuh yang hits dan pasar pakaian bekas tapi saya tidak tau kalau di Senen juga ada pertunjukan wayang orang hanya beberapa meter dari lapak kue subuh itu.
Sabtu lalu, saya dan teman-teman penghobi nulis dan jalan-jalan menyusuri Jalan Kalilio, gedung pertunjukan Wayang Wong Bharata memang nggak stand out tapi kalau bingung mencari, siapapun yang kita tanya disini rata-rata tahu dimana lokasi gedungnya.
Saya bertemu dengan penari senior, Pak Tyo. Setelah ngobrol, beliau mempersilahkan kami untuk melihat bagaimana mereka mempersiapkan diri dibalik layar.
Beliau bercerita sambil mengajak kami berkeliling, grup pertunjukan wayang orang ini dibentuk pertama kali pada tahun 1963 dengan nama Pancamukti, namun mereka kemudian mengalami kebangkrutan hingga pada tahun 1972 dibuat kembali grup pertunjukan wayang orang dengan nama Wayang Wong Bharata dan bertahan hingga sekarang.
Tiga generasi mempertahankan grup ini, sehingga tidak heran banyak anak-anak yang sudah mahir menari dan ikut dalam pertunjukan. “Anak-anak belum memerankan peran tertentu dalam pertunjukan, tetapi mereka menampilkan tarian dan nyanyian selama pertunjukan.” Ujar Pak Tyo.
“Awalnya kami hanya terdiri dari beberapa keluarga yang mencintai pertinjukan seni wayang wong dan ingin melestarikan kesenian ini hingga akhirnya kami melakukan pertunjukan secara reguler dan kini terasa sebagai satu keluarga besar.” Lanjut beliau.
Pak Tyo membebaskan kami untuk melihat-lihat para pemain mempersiapkan diri mereka. Mulai dari mendandani wajah mereka sendiri sesuai karakter yang ditampilkan, sampai menghafal naskah.
Para pemain tampak ahli mendandani wajah mereka, para pemain senior yang berkeliling memeriksa hasil dandan hanya sesekali memperbaikinya.
Oiya, mereka juga kreatif dalam membuat properti yang akan digunakan. seperti misalnya jambang dan kumis, mereka membuatnya dengan ijuk dan kawat kemudian dikaitkan di telinga seperti kacamata.
Setelah siap dengan make up dan kostum, gladi resik pun dimulai. Anak-anak juga ikut dalam gladi resik, bahkan mereka meniru peran-peran yang mereka ingin perankan suatu saat nanti. Semangat sekali.
Pertunjukan kali ini adalah tentang Gatot Kaca. Kursi tidak ada yang kosong dan yang mengejutkan penontonnya tidak hanya orang tua namun juga anak-anak muda. Sebuah angin segar untuk pelestarian budaya nusantara.
Pertunjukan memang disajikan dalam Bahasa Jawa, namun bagian atas panggung terdapat sign board berbahasa Indonesia, untuk menjembatani keterbatasan pemahaman bahasa.
Satu yang khas yang mungkin hanya ada di gedung pertunjukan ini. Selama pertunjukan kita bisa memesan ketoprak atau sate padang yang ada di luar gedung.
nyamm..
Buat saya sebetulnya yang menarik bukan cuma pertunjukannya, tapi sate padangnya juga… hehehe…
Semoga pertunjukan Wayang Wong Bharata langgeng sampai bergenerasi-generasi berikutnya, saya mau banget nonton lagi (sambil makan sate padang).