Insiden jatuhnya pendaki asal Brasil, Juliana Marins, di Gunung Rinjani, Lombok, Nusa Tenggara Barat, jadi pengingat keras buat kita semua soal ganasnya jalur pendakian di gunung ini. Kejadian tragis itu terjadi Sabtu, 21 Juni 2025, dan kembali membuka mata bahwa jalur menuju puncak Rinjani enggak bisa dianggap remeh.

Juliana terjatuh di kawasan Cemara Nunggal, titik yang selama ini terkenal di kalangan pendaki sebagai “jalur neraka”. Disebut begitu bukan tanpa alasan: jalurnya sempit, curam, dan diapit jurang dalam di kiri-kanan.

Cemara Nunggal, Jalur Favorit yang Diam-Diam Simpan Bahaya Besar

Cemara Nunggal ini posisinya di antara Plawangan Sembalun dan puncak Rinjani. Biasanya, pendaki lewat jalur ini tengah malam atau dini hari buat ngejar sunrise di puncak 3.726 mdpl. Tapi jangan salah, jalur ini bukan buat yang nekat, belum siap mental atau pemula.

Banu Adikara, pendaki asal Jakarta, pernah lewat jalur ini dan pengalaman dia cukup bikin merinding, “Kanannya kawah, kirinya jurang. Pasirnya licin, batunya (mudah) lepas. Kalau jatuh, enggak ada yang bisa bantu,” ceritanya soal pendakian tahun 2017 lalu, dia mengatakan saat itu dia memilih berjalan dengan sangat pelan, menggunakan senter, buff dan kacamata pelindung.

Kondisi itu semakin mencekam karena biasanya jalur tersebut dilalui pada malam hingga dini hari agar pendaki bisa menikmati sunrise di puncak Rinjani. Pada jalur itu selain minim pencahayaan, angin kencang dan kabut membuat jarak pandang terbatas.

Dia juga bilang bahwa ada seorang bule ketakutan dan menangis saat melintasi jalur itu, “Dia bilang, ‘Saya nggak mau mati di sini’.”

Cerita Pendaki Soal Jalur Neraka Rinjani yang Bikin Nyali Ciut

Riyan Setiawan, pendaki asal Jakarta lainnya, juga mengaku jalur ini bikin tegang, (Biasanya mulai) summit jam 2 atau 3 pagi. Jalur sering nggak kelihatan jelas karena pasir dan kabut. Fokus penuh wajib, katanya.

Bayu Adji, pendaki asal Bandung, juga punya cerita serupa, Pasirnya licin banget, kiri-kanan jurang, dan jalurnya sempit. Di atas juga harus gantian karena ruang gerak terbatas, katanya.

Medan berbatu dan berpasir di jalur pendakian menuju puncak Rinjani merupakan risiko yang harus dihadapi pendaki.
Medan berbatu dan berpasir di jalur pendakian menuju puncak Rinjani merupakan risiko yang harus dihadapi pendaki./ Unsplash/ Al Ghazali.

Ternyata Ada Penjelasan Ilmiah Mengapa Pendaki Sering Terjatuh di Gunung

Penelitian dari University of Innsbruck, Austria, nunjukkin angka kecelakaan di pegunungan itu cukup tinggi. Selama 2006–2014, Kepolisian Alpen Austria catat 5.368 insiden pendaki jatuh, 331 di antaranya meninggal dunia.

Bahkan di Swiss, pendakian adalah penyebab utama kematian terkait olahraga ekstrem. Jumlahnya lebih tinggi dari ski touring, panjat tebing, sampai BASE jumping.

Kenapa Sih Bisa Jatuh di Gunung? Ini 3 Fakta Mengejutkan di Balik Kecelakaan Gunung

Penelitian dari BMJ Open Sport and Exercise Medicine menyebutkan tiga hal ini cukup mengejutkan:

1. Cuaca Baik Bukan Jaminan Aman

Berbanding terbalik dengan anggapan umum, sebagian besar kecelakaan justru terjadi saat cuaca cerah, persentasenya 90 persen kecelakaan terjadi saat cuaca baik, tanpa hujan, kabut, atau kondisi gelap.

Selain itu, sebesar 81 persen insiden terjadi di jalur resmi, meski sebagian besar jalur tersebut sudah berupa area berbatu, namun bukan berarti tidak memiliki risiko.

2. Turun Gunung Lebih Berisiko Celaka

Sebanyak 75 persen kecelakaan terjadi saat pendaki menuruni gunung, sementara kecelakaan saat mendaki hanya 20 persen, dan 5 persen saat berjalan di jalur datar. Alih-alih lebih mudah dari mendaki, turun gunung ternyata membuat tubuh lebih lelah, otot paha bekerja lebih keras, dan konsentrasi menurun. 

Tak jarang, secara tidak sadar pendaki juga menuruni jalur dengan kecepatan berlebih, apalagi setelah beristirahat di puncak dan merasa ‘turun itu nggak pakai tenaga’.

Mindset keliru ini juga yang saya alami saat mendaki, ditambah kontur jalur yang berpasir, bebatuan yang tidak kokoh tersangga, saya beberapa kali terjatuh saat turun, bahkan terperosok. Turun gunung justru lebih menantang.

3. Pria Lebih Rentan Risiko Celaka

Menariknya, meski wanita lebih sering mengalami kecelakaan ringan (55 persen), laki-laki justru lebih banyak mengalami kecelakaan fatal (72 persen). Menurut penelitian, hal ini berkaitan dengan kecenderungan pria untuk mengambil risiko lebih besar, termasuk berjalan di luar jalur resmi.

Pelawangan Base Camp, Gunung Rinjani, Nusa Tenggara Barat.
Pelawangan base camp, lokasi para pendaki menikmati sunrise di gunung Rinjani./ Unsplash/ Monteverdo Barnsley

Faktor Kecelakaan Saat Mendaki Gunung

Selain hasil riset di atas, kecelakaan saat pendakian juga dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor lain. Dalam riset berjudul The perception of causes of accidents in mountain sports: a study based on the experiences of victims. Accident Analysis & Prevention, yang ditulis tahun 2009 oleh Chamarro, A. dan Fernández-Castro, terdapat lima faktor utama penyebab kecelakaan di gunung, yaitu:

1. Faktor Lingkungan

Kecelakaan pendakian bisa karena kondisi alam yang sulit diprediksi, seperti perubahan cuaca mendadak, atau kondisi lingkungan yang menantang, seperti jalur terjal, berpasir dan licin.

2. Faktor Peralatan

Peralatan yang kurang memadai atau tidak sesuai standar pendakian turut meningkatkan risiko kecelakaan. Termasuk di dalamnya adalah jumlah peralatan yang tidak cukup, kualitas peralatan yang kurang baik, hingga kurangnya pengetahuan penggunaan alat pelindung.

Peralatan yang tidak tepat untuk kondisi gunung tertentu juga bisa menaikkan potensi risiko.

3. Faktor Medis

Kelelahan fisik yang dipicu oleh aktivitas mendaki juga dapat menjadi penyebab kecelakaan. Kelelahan juga dapat karena kurang istirahat sebelum pendakian atau tidak mengetahui faktor bahaya tertentu, seperti larangan mendaki gunung selama 24 jam setelah menyelam. Ini tidak ada hubungannya dengan hal gaib, tetapi memang ada studi ilmiahnya.

Selain itu juga dapat karena kondisi medis yang sudah dimiliki oleh pendaki. Tubuh yang kurang fit atau kelelahan rentan mengalami gangguan keseimbangan, penurunan konsentrasi, hingga cedera.

4. Kesalahan Manusia

Kelalaian, kesalahan teknis saat pelaksanaan, hingga keliru dalam mengambil keputusan dalam memecahkan masalah di lapangan dapat berujung pada insiden. Banyak kecelakaan terjadi bukan karena faktor alam semata, tetapi akibat kurang hati-hati atau salah langkah.

5. Tekanan Waktu

Keinginan cepat sampai puncak sebelum cuaca berubah atau ingin lekas melihat sunrise, atau tergesa-gesa saat turun, memiliki risiko kecelakaan lebih tinggi. Keputusan yang diambil dalam kondisi terdesak cenderung kurang matang.

Mendaki gunung memang bukan perkara sepele, begitupun proses penyelamatan jika terdapat suatu insiden. Turut berdukacita atas meninggalnya Juliana Marins yang tidak tertolong pasca dirinya terperosok sejauh 800 meter dari jalur Cemara Nunggal, Rinjani. 

Terlepas dari apa yang telah dialaminya termasuk evakuasi yang sulit terutama karena kendala cuaca, kita harus mengingat bahwa pendakian ke Gunung Rinjani memang menawarkan keindahan yang luar biasa, tapi risiko yang mengintai juga nyata.

Saat berencana mendaki, pastikan persiapan matang, latihan fisik jelang pendakian amat penting. Olahraga kardio sangat disarankan, seperti misalnya berolahraga naik turun tangga setidaknya satu jam per hari selama dua minggu sebelum pendakian, juga bisa dengan angkat beban dan olahraga lari.

Latihan fisik juga harus dibarengi dengan peralatan, persiapan mental dan pemahaman risiko jalur pendakian yang akan dilalui. Setiap medan pendakian, berbeda tantangannya, juga bisa berbeda perlengkapan yang dibutuhkan.

Selain itu, selalu ikuti arahan pemandu atau petugas saat mendaki . Tentunya juga berdoa.  Karena seindah apa pun alam, rumah selalu jadi tempat terbaik untuk kembali. ***