4 Juli 2020 lalu Lembaga Adat Baduy ketok palu untuk meminta kepada pemerintah agar wilayah mereka tidak lagi menjadi destinasi wisata.

Tidak sampai situ saja, Suku Baduy meminta pemerintah menghapus citra satelit yang ada pada mesin pencarian Google serta menghapus foto-foto beberapa daerah adat yang terdapat di wilayah Baduy.

Dengan dihapuskannya citra satelit, berarti Baduy dikategorikan menjadi wilayah terbatas (restricted area).

Segitunya? mengapa?

Coba kita lihat latar belakangnya…

Traveling ke Baduy tidak terlalu sulit bagi orang Jakarta, terlebih jadwal kereta menuju Rangkasbitung sudah lebih banyak dibandingkan dulu.

Saya sempat ke Baduy dua kali, tahun 2014 (ke Baduy Dalam) dan 2016 (ke Baduy Luar). Jangankan Baduy Luar, di Baduy Dalam yang sangat ketatpun sudah cukup ramai kala itu, setiap rumah penduduk setidaknya diinapi oleh 4 orang wisatawan.

Didukung oleh jasa open trip yang menjamur di perkotaan, angkot yang bisa dicarter, ke Baduy menjadi mudah. Hanya perlu menyiapkan tenaga ekstra untuk mendaki selama 5-6 jam dengan kecepatan yang konsisten dan sepatu yang kuat dibawa jalan jauh (fyi, waktu ke Baduy pertama kali sepatu saya sampai jebol. Saya pikir pakai sepatu olahraga cukup, tapi ternyata salah besar karena ada area-area yang lembab dan basah).

Wisatawan mengunjungi Baduy rata-rata untuk menghilangkan penat karena hiruk pikuk perkotaan, menikmati alam sekaligus kesederhanaan ndeso yang tidak ditemui di metropolitan.

Jujurly, meskipun kata ndeso kerap dijadikan sebagai kata ledekan namun suasana ndeso itupula yang kerap dicari-cari oleh orang kota.

Wara-wirinya para manusia kota pencari ketenangan ini ternyata tidak selamanya dinikmati oleh penduduk setempat.

Banyaknya wisatawan dan pedagang yang hilir mudik membawa produk-produk dengan plastik dan meninggalkan plastik sampah tersebut di area Baduy tanpa mengindahkan aturan setempat dalam hal kebersihan lingkungan dan kelestarian alam tak pelak membuat warga setempat gregetan juga.

Meskipun terkesan ndeso, masyarakat Baduy sudah menerapkan pemisahan sampah lho! makanya nggak heran kalau mereka gengges juga sama wisatawan yang buang sampah sembarangan atau membuang sampah bukan pada tempat sampah yang diperuntukkan bagi jenis sampah itu.

Waste sorting

Jaro Saidi, salah satu Pemangku Adat di Baduy mengatakan bahwa kehidupan masyarakat Baduy mulai terusik akibat masifnya eksploitasi wilayah Baduy yang tersebar di media sosial. 

Bagi orang metropolis, tampil di sosial media itu hal yang biasa. Dilihat oleh khalayak itu biasa. Setiap pergi ke suatu tempat, kamera standby untuk foto dan video. Tapi tidak demikian dengan suku yang terkenal dengan pembatasan diri mereka terhadap dunia luar terutama terhadap hal-hal yang akan merusak tatanan dan tuntunan adat mereka.

Saat ada penutupan destinasi wisata karena pandemi COVID-19, masyarakat adat Baduy mengaku ‘menikmati’ suasana ketika tidak ada orang luar yang masuk ke wilayah adat. Sebuah ketenangan yang mereka rindukan sejak lama.

Situasi inilah yang kemudian menjadikan para Jaro yang tergabung dalam Lembaga Adat Baduy bersuara bulat menginginkan status mereka kembali menjadi cagar alam atau cagar budaya dan mengirimkan surat permohonan tersebut kepada Bapak Jokowi.

Sedih karena kelak nggak ada lagi destinasi wisata Baduy?

Sama, saya juga… Tapi keputusan mereka itu ada benarnya.