Siapa yang ingin sakit? tentu tidak ada. Apalagi jika sedang melakukan ibadah umrah atau ibadah haji, inginnya sehat terus supaya ibadahnya lancar.

Tapi, bagaimana jika diberi rejeki sakit saat berada di tanah suci? Terus baca sampai kelar ya…

Sabtu pagi itu saya bersama grup umrah berangkat ke Madinah, dalam perjalanan kami menyempatkan diri beristirahat sejenak di rest area.

Seperti umumnya rest area, disana tidak hanya bisa beristirahat sejenak tetapi juga makan, membeli oleh-oleh, menunaikan ibadah, dan juga ke toilet.

Di rest area ini saya melakukan semuanya kecuali membeli oleh-oleh kecuali saya, saya bahkan tidak bertanya harganya. Saya pikir perjalanan masih panjang, saya tidak ingin fokus dengan oleh-oleh bukannya ibadah.

Perjalanan Makkah ke Madinah memakan waktu sekitar 8 jam dengan bis. Sepanjang jalan saya memandang gurun dan membayangkan bagaimana dahulu Rasulullah hijrah bersama para sahabat. 8 jam saja terasa lelah, bagaimana naik unta mengarungi padang gurun? Betul-betul tekad yang ukurannya adalah iman.

Sesampainya di Madinah, saya dan sahabat-sahabat satu grup sempat kebingungan karena salah satu anggota grup umrah yang agak sepuh bernama ibu Suanah tidak ada bersama kami, sekitar setengah jam kami mencari. Ternyata beliau sedang berada di sebuah restoran, berdiri dengan wajah panik. Dengan langkah bergegas, Ibu Khair sahabat sekamar saya mendekati beliau dan ternyata Ibu Suanah mencari toilet karena kebelet pipis.

Beliau turun dengan terburu-buru, lupa bahwa sedang tidak berada di Indonesia, sehingga saat bertanya kepada orang-orang di restoran tidak ada satupun yang memahami maksud beliau.

Selesai Bu Khair mengantarkan Bu Suanah ke toilet, Bu Suanah tampak lemas namun tampak lega.

Demam Tinggi

Malamnya, Ibu Suanah demam tinggi. Selidik punya selidik selain ternyata beliau sudah batuk sejak di Makkah, sepanjang perjalanan panjang dari Makkah ke Madinah beliau tidak minum obat, bahkan beliau tidak makan dan minum sama sekali karena menahan pipis dan tidak mau merepotkan orang lain karena mengeluh ingin pipis padahal rest area sudah lewat.

Dan akibat tidak terasupinya tubuh beliau dengan makanan dan minuman apapun dan tidak minum obat, tubuh beliau yang sepuh jatuh sakit.

Kesulitan yang kemudian kami hadapi adalah membujuk Ibu Suanah untuk makan dan minum. Entah mengapa beliau mengatupkan bibirnya begitu kuat saat kami menawarkan minum. Beliau hanya mau tidur saja. Akhirnya bujukan itu berhasil saat disebutkan air zam-zam. Meski hanya berhasil memberikan beliau dengan meneteskan sedikit-sedikit kedalam mulutnya, kami cukup bersyukur bahwa beliau sudah mau mengasupi tubuhnya.

Keesokan harinya adalah jadwal grup kami ke Raudhah Al-Mustafa setelah shalat subuh di Masjid Nabawi. Bu Suanah tidak ikut, beliau didampingi adik laki-lakinya beristirahat di hotel.

Selesai berkunjung ke Raudhah Al-Mustafa, kami pulang ke hotel dengan berjalan kaki. hanya 15 menit jarak hotel dengan Raudhah Al-Mustafa ditambah jalur yang simpel menuju hotel memudahkan kami untuk cepat kembali melihat kondisi Bu Suanah.

Panik!!

Setibanya kami di hotel, kami kembali ke kamar Bu Suanah. Kondisi beliau masih sama saja, kemudian saya bertanya kepada Mas Rofik, team leader grup umroh kami di Madinah apakah sebaiknya Bu Suanah dirujuk ke rumah sakit saja.

Sejurus setelah saya mengatakan hal tersebut, terdengar suara terjatuh, dan ternyata Bu Suanah terjatuh karena beliau berusaha turun dari kasur menuju toilet. Bu Suanah sudah tidak bertenaga hingga kami membopongnya ke toilet.

Mas Rofik sempat blank karena panik, hingga tidak terpikir harus menghubungi nomor mana hingga kemudian saya menyarankannya untuk bertanya kepada resepsionis hotel.

Saat di resepsionis hotel, Mas Rofik bertemu salah seorang penduduk Madinah yang sedang duduk di lobby hotel, pria tersebut membantu Mas Rofik untuk menelpon ambulans.

Tak lama kemudian petugas ambulans berbaju biru memeriksa Bu Suanah. Karena terbiasa di tanah air, Bu Khair menanyakan kondisi beliau dengan bahasa Indonesia, kemudian ia merespon “I’m Philiphines“, ok ternyata harus berbahasa Inggris. Dalam grup saat itu hanya saya yang bisa berbahasa Inggris, sehingga petugas ambulans itu meminta saya ikut ke rumah sakit.

Hanya boleh 3 orang yang mendampingi Bu Suanah ke RS. Saya diwajibkan ikut karena dibutuhkan dalam berkomunikasi, Mas Rofik harus ikut karena beliau adalah tim leader, dan Bu Khair ikut untuk menemani saya.

Saat hendak memobilisasi Ibu Suanah ke ambulans, salah satu jamaah umroh di grup kami, Bu Ninik menawarkan kursi roda yang dibawanya dari tanah air, Bu Ninik juga menyarankan agar Bu Suanah menggunakan diapers untuk berjaga-jaga semisal beliau kebelet pipis lagi. Bu Suanah menurut saja, proses memindahkan Bu Suanah pun lancar tanpa kendala.

Al Ansaar General Hospital

Setibanya kami di Al Ansaar General Hospital, Bu Suanah masuk ke UGD khusus perempuan dan hanya saya yang menunggu diruang tunggu UGD. Karena pria tidak boleh ikut masuk, Bu Khair menemani Mas Rofik di ruang tunggu bagian depan.

Sebagai pendamping si sakit, saya harus bersiap untuk banyak hal. Hal pertama, pasti akan ditanyai kronologis mengapa pasien bisa sakit.

Dalam kasus Bu Suanah, dokter UGD kebingungan mengapa beliau tidak mau makan dan minum, tensi turun. Dokter bertanya semakin menyelidik curiga saat menyadari beliau menggunakan diapers, karena umumnya yang menggunakan diapers adalah pasien diabetes.


Pantas jika sang dokter menyelidik, karena tugasnya adalah menganalisa sebaik-baiknya agar bisa memberikan obat yang sesuai. Setelah puas dengan jawaban saya, dokter kemudian memberikan infus kepada Bu Suanah, beliau meminta saya untuk mendaftarkan Bu Suanah ke meja pendaftaran.

Perlawanan

Saya, Bu Khair dan Mas Rofik menunggu dengan terkantuk di ruang tunggu depan, tiba-tiba seorang petugas medis memanggil saya dengan nada gusar, “You, come here, help me.“. Dalam kebingungan, saya mengikuti dokter UGD tersebut. Disamping tempat tidur Bu Suanah, petugas itu berkata “She pull this out three times!!, please help me communicate with her before I give her another needle. I don’t know what’s wrong with her, I never have this kind of difficulty before.”

Kami cukup kaget melihat jarum infus yang bengkok karena Bu Suanah melepas paksa infusnya dan darah beliau membasahi pakaian dan sprai.

Pada awalnya Bu Suanah merespon dengan mengepalkan tangannya. Cukup lama kami membujuk, tangan Bu Suanah tidak bisa dimasukkan jarum infus sebelum tangan beliau rileks. Dokter UGD nampak tidak sabar menunggu saya dan Bu Khair berhasil membujuk Bu Suanah. UGD memang sibuk sehingga kami sangat memakluminya.

Dalam ketidaksadarannya, Ibu Suanah melepas infus berkali-kali hingga petugas UGD senewen dan meminta saya membantunya membujuk Bu Suanah.

Setelah tangan Ibu Suanah rileks dan dapat dimasukkan infus, kami berpikir kami sudah bisa berlega hati namun ternyata tidak.

Selang beberapa menit kemudian, dokter UGD memanggil kami kembali, tim UGD hendak memindahkan Bu Suanah ke tempat tidur lain karena tempat tidur yang saat itu digunakan akan dibawa kembali oleh ambulans.

Kali itu Bu Suanah menggenggam erat tempat tidur sehingga sulit dipindahkan. Kembali kami membujuknya baru Bu Suanah mau dipindahkan.

Kali ketiga kami dipanggil lagi, kata petugasnya “Actually, she can drink water, but why she resisting? Please make her drink water, so we can move to another procedure. We need to make her stable first.”

Pada awalnya, Bu Suanah mengatupkan mulutnya sangat erat sama seperti saat di hotel. Saya dan Bu Khair juga tidak memahami alasannya (mungkin masih trauma kebelet pipis beberapa hari sebelumnya). Kami hanya membujuk dengan mengatakan minuman itu adalah air zamzam.

Bu Suanah membuka mata, mengangguk dan bersuara pelan, awalnya kami memberikan air dengan pipet, namun akhirnya beliau mau meminumnya langsung. Alhamdulillah.

Saat Bu Suanah sudah cukup memiliki tenaga karena sudah diberikan cairan melalui infus dan sudah meminum air, saya diminta mengantarkan Bu Suanah ke ruang rontgen.

Di Saudi Arabia, jangan harap ada suster yang membopong pasiennya. Selama ada pendamping pasien, maka pendamping pasienlah yang membopong pasien dan mendorong kursi roda. Dokter UGD hanya meminta seorang suster muda untuk mendampingi saya menuju ruang rontgen. Suster muda ini pun mengantarkan saya sambil sibuk dengan handphonenya –mungkin senang karena ada sedikit waktu disela kesibukan UGD untuk menelpon seseorang dibalik telepon sana.

Di ruang rontgen, kami diterima oleh petugas rontgen yang ramah. Ruang rontgennya pun khusus wanita. Terpisah dari ruang rontgen pria.

Dengan ramah petugas rontgen meminta saya menjadi penerjemah untuk menjelaskan kepada Bu Suanah bagaimana posisi yang benar untuk foto thorax. Kemudian saya diminta duduk di depan ruangan.

Sesi foto thorax ini tidak selancar harapan. Dua kali foto harus diulang, pertama karena ternyata Bu Suanah menggunakan kaus dalam dengan kantung bersleting. yang kedua karena bu Suanah tidak bisa berpose dengan baik, sehingga petugas rontgen meminta saya masuk ke ruang rontgen.

Help me to see this monitor, I will be at x-ray room with your mother to help her pose. When I give my thumb, click this.” Katanya sambil menunjuk ke satu tombol.

Setelah rontgen, petugas rontgen meminta saya untuk kembali ke UGD agar dapat dilakukan prosedur selanjutnya.

Di UGD, dokter kembali memasang infus. Kantong ketiga kalau saya tidak salah ingat.

Cukup lama kami di RS, saya sempat bertanya apakah kami boleh kembali dulu ke hotel tapi jawabannya adalah “No, you must stay here.” — Ini hal yang pasti akan terjadi kalau kamu adalah WNA dan menjadi pendamping pasien di RS Arab Saudi.

Menjelang Isya’, saya kembali dipanggil oleh sang dokter, kali ini untuk memberikan semua hasil analisa: rekam jantung, hasil radiometer, dan yang lainnya. Semua hasil memperlihatkan bahwa Bu Suanah baik-baik saja, hanya perlu dijaga karena sudah sepuh dan beliau diperbolehkan pulang…. yes!!

Apa yang Harus Dilakukan Jika Harus Masuk Rumah Sakit di Tanah Suci

Pertama, yang harus dilakukan adalah membawa pasport asli. Karena pasport itu adalah jaminan pelayanan gratis dari Pemerintah Arab Saudi bagi jamaah umrah dan haji. Tidak perlu mengisi formulir apapun, hanya menyerahkan paspor saja. Jika pun ditanya, hanya ditanya ejaan nama ayah kandung karena belum tentu nama ayah kandung tercantum di paspor. Biasanya ditulis di selembar stiker yang ditempel pada paspor yang terkadang tidak jelas tulisannya karena ditulis tangan.

Kedua, di rumah sakit biasanya hanya disediakan air minum gratis, namun tidak ada kantin sehingga para pendamping pasien harus mencari gerai makanan diluar rumah sakit. Beruntung ada gerai kopi yang juga menjual donat di depan gedung rumah sakit. Untuk minuman bisa memilih, latte, cappuccino, teh, atau air mineral. Sedangkan makanannya hanya tersedia donat bergula. Cukup saja sebetulnya, yang penting perut terisi, maag tidak kambuh dan cukup bertenaga. Begitu pikir saya.

Ketiga, bukan hanya UGD dan ruang rontgen di rumah sakit yang dipisahkan berdasarkan gender, begitu pula antrian farmasi, lagi-lagi demi kenyamanan.

Oh, Bon Apotik

Nah satu cerita lagi tentang sakit di perjalanan ibadah, yaitu bon apotik yang epic banget mahalnya. Bukan obat batuknya yang mahal, tapi food suplement yang disertakan.

Kalau ada diantara kamu yang batuk atau sakit apapun di Saudi Arabia saat ibadah haji atau umrah, sebetulnya bisa menggunakan fasilitas rumah sakit yang disediakan gratis oleh pemerintah Arab Saudi bagi semua jamaah haji dan umrah. Namun saat itu saya berpikir jarak rumah sakit dari hotel lumayan jauh dan harus keluar ongkos taksi yang konon cukup mahal, akhirnya saya memutuskan untuk membeli obat bebas saja.

Hmmm… itu… sebelum tahu harga yang tercantum pada struk pembelian obatnya.

Saya masuk kesebuah toko obat disamping Masjidil Haram sambil berkata “Cough remedy please, sir“. Petugas toko obat sangat sigap dan bilang “If you get cough, you drink this syrup and this capsule“. Karena kondisi tubuh yang cukup lelah karena batuk terus menerus, teledorlah saya tidak mengecek terlebih dulu. Terlebih si penjual juga bergerak dengan sangat cepat: ambil-kasih penjelasan kilat-scan pembayaran…

Saat di Madinah, saya mendapati sebuah toko obat dengan brand yang sama dengan toko tempat saya membeli obat batuk di Makkah, saya iseng masuk ke toko tersebut dan ternyata semua pembeli ditawari food suplement jenis tersebut dengan cara yang sama: ambil-kasih penjelasan kilat-scan pembayaran.

Yang tidak “terkecoh” hanya beberapa pembeli yang kecepatannya lebih dari si penjual, hihihi…

Sebagai catatan, sirup obat batuknya oke… mengandung Cistus Incanus kering, tanaman obat untuk berbagai masalah kesehatan, terutama infeksi influenza dan penyakit pernapasan. Tambahan lainnya adalah obat ini bebas gula dan alkohol, tanpa pewarna buatan, hanya tahan 24 bulan sejak dibuka dan memiliki rasa madu. Cocok dikonsumsi oleh penyintas diabetes dan alergi.

ice-cream-time-at-madina
Ditraktir es krim oleh Bu Ambardi (paling kanan) karena batuk saya sudah sembuh… yay…

Begitulah kisah unik saya yang tidak banyak dialami orang lain saat di tanah suci untuk ibadah.

Saya memang batal pergi ke beberapa tempat bersejarah saat di Madinah karena mendampingi Bu Suanah, akan tetapi umroh saya ini bersejarah dan dengan senang hati saya ceritakan. Semoga Allah memperbolehkan saya berkunjung lagi di lain waktu.

Selamat merancang perjalanan ibadah kamu ya, semoga diberikan ibadah yang mabrur.