Tak jauh dari Prasasti Kebun Kopi yang saya ceritakan sebelumnya, terdapat Prasasti Ciaruteun yang letaknya diantara perumahan penduduk. Untuk menuju kesana, saya beserta teman-teman Sahabat Museum dan Pak Dwi harus melewati jalan setapak berkelok-kelok beberapa puluh meter masuk kedalam perumahan penduduk.

Prasasti Ciaruteun ini lebih misterius daripada Prasasti Kebun Kopi, karena prasasti ini tidak hanya terukir huruf palawa, tetapi juga huruf ikal dan simbol matahari.

tarumanegara 3
Serius mendengarkan Pak Dosen

Prasasti yang ditemukan pada 1863 ini pada awalnya berada ditepi sungai, namun pada tahun 1893, prasasti seberat 8 ton ini sempat bergeser kearah hilir karena derasnya arus banjir pada tahun tersebut. Sehingga pada tahun 1981, diputuskanlah untuk memindahkan lokasi batu ke tempat sekarang yang dinilai lebih aman.

Mengingat beratnya batu andesit ini, proses pemindahan prasasti ini bukanlah hal mudah. Konon, batu ini hanya dapat digeser sekitar 5 SENTIMETER PERHARI!. sehingga memakan waktu kurang lebih satu bulan hingga mencapai lokasinya sekarang… hmm, 5 cm x 30 hari, jadi total bergeser 150 cm dari tempat semula… #ehkokmalahngitung

Aksara Palawa Pada Prasasti Tersebut Berbunyi…

“Vikkrantasyavanipateh, shrimatah purnavarmanah, tarumanagararendrasya, vishnoriva padadvayam”

Bahasa sanskrit ini kemudian diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia kira-kira berbunyi seperti ini: “Ini (bekas)  dua kaki, yang seperti kaki Dewa Wisnu, ialah kaki yang mulia Sang Purnawarman, Raja Negeri Taruma yang gagah berani di dunia”.

wp-image-1338542784

Kata “shrimatah” sendiri berasal dari dua kata yakni “shri” yang merupakan kata penunjuk khusus bagi seorang raja, dan “matah” yang kemudian berkembang menjadi “natah”, “nata” kemudian “noto”, yang dalam Bahasa Jawa masa kini berarti menata atau mengatur. Sehingga pada baris kedua dan ketiga dapat disimpulkan bahwa pria bernama Purnawarman ini adalah Raja yang mengatur sebuah negara yang bernama Tarumanegara.

Kembali lagi pada kata “vikkranta” yang berarti “langkah”, yang kemudian maknanya meluas dalam perbendaharaan kata di Bahasa Jawa menjadi “triwikrama”, sebuah kosakata yang memiliki cerita khusus dalam mitologi Weda*.

Kisah Triwikrama 

Dewa Wisnu adalah Sang Mesias dalam Rigweda**, dan dalam penyelamatannya, Dewa Wisnu selalu berinkarnasi dengan mengambil suatu bentuk dalam dunia material, seperti kendaraan berbentuk ikan (Mastya Avatara) dan kendaraan berbentuk kura-kura (Kurma Avatara). Diantara 10 inkarnasinya, yang paling terkenal adalah pada saat Dewa Wisnu berinkarnasi menjadi makhluk kerdil bernama Wamana.

Wamana turun pada masa Tretayuga, sebagai putra pasangan Brahmana bernama Aditi dan Kasyapa. Pada masa itu, dikisahkan seorang raksasa (raja iblis) bernama Bali telah menguasai alam semesta dan merebut nirwana dari kekuasaan Dewa Indra, hingga kemudian Dewa Wisnu berinkarnasi sebagai Wamana guna memenuhi misi hidupnya sebagai Sang Mesias.

vamana

Disaat semua makhluk menyerah dan tunduk terhadap Raksasa Bali, tidak demikian halnya dengan Wamana, hal ini membuat Raksasa Bali gusar hingga kemudian Raksasa Bali mengiming-imingi hadiah jika Wamana ikut menyerah seperti makhluk lainnya. Wamana kemudian mengajukan satu syarat yang langsung disetujui oleh Raksasa Bali, yakni memiliki sebidang tanah selebar tiga jengkal tanah yang diukur dari langkah kakinya untuk dijadikan wilayah kekuasaannya.

Begitu Raksasa Bali menyetujui hadiah yang diajukan, Wamana langsung berubah wujud menjadi makhluk yang amat besar hingga pada langkah pertamanya meliputi seluruh nirwana dan langkah berikutnya meliputi seluruh bumi, namun pada langkah ketiga Wamana tidak lagi memiliki tempat untuk berpijak, hingga Raksasa Bali menawarkan kepalanya untuk dipijak oleh Wamana. Wamana kemudian menginjak kepala Raksasa Bali hingga tamatlah kekuasaan Raksasa Bali. Karena terkesan pada kedermawanan yang muncul dari Raksasa Bali pada detik terakhir, Raksasa Bali kemudian diberi gelar Mahabali yang akan bangkit kembali pada Manwantara berikutnya.

Simbol Matahari dan Huruf Ikal Pada Prasasti

Kemisteriusan huruf ikal masih kental hingga saat ini se-misterius simbol matahari yang terukir diatas prasasti.

Kata “matahari” dalam Bahasa Jawa disebut sebagai  “E” yang kemudian berkembang menjadi “srengenge (srengeng E)” yang berasal dari kata “Shang Hyang E”. Dalam Bahasa Jawa, terdapat tiga posisi matahari, yakni “E suk” sebagai sebutan matahari terbit, “Tengang E” yakni pada saat matahari berada di atas kepala, dan “Sor E” yakni saat matahari beranjak padam di ufuk barat.

tarumanegara 2

Dalam mitologi Weda, matahari digambarkan sebagai sesuatu yang dinamis, sehingga perjalanan Dewa Surya dari ufuk timur ke barat digambarkan bergerak dengan menggunakan kereta yang ditarik oleh tujuh ekor kuda yang menandai tujuh hari kalender masehi, seperti halnya Dewa Bulan yang juga mengendarai kereta yang ditarik dengan lima ekor kuda, yang menandai lima hari pasaran (Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon).

Bagi masyarakat Tarumanegara yang menggantungkan hidup pada hasil pertanian, matahari juga merupakan Dewa Wisnu, Sang Mesias, sehingga mereka menyematkan matahari sebagai Ishta Dewata*** bagi mereka.

Baca juga: Menjadi Indiana Jones: Prasasti Kebun Kopi

======

*Weda: agama yang muncul pada awal masa hinduisme, yang merupakan cikal bakal agama hindu.

**Rigweda: kitab ลšruti (kumpulan besar dari kitab sastra keagamaan Hindu) yang paling utama yang merupakan salah satu dari Catur Weda (Rigweda, Yajurweda, Samaweda, Atharweda). Disusun dalam bentuk kuno Bahasa Sanskerta sekitar tahun 1500 SM.

*** Ishta Dewata: Dewa utama